Rabu, 18 Mei 2011

pajak penhghasilan pasal 21,22,23,24,25,26

PPH PASAL 21
1.      Pemgertian PPh Pasal 21
Adalah pajak yang dipotong oleh pemberi kerja atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
2.      Berikut ini adalah imbalan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:
a)            Pegawai tetap, berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b)           Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
c)            Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan lainnya
d)           Pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengna pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis.
e)            Bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f)            Peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g)           Penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma Penghitungan Khusus (deemed profit).

3.      Pemotong Pajak PPh Pasal 21
a)      Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
b)      Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada pemerintah Pusat termasuk instansi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga, negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia dil luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
c)      Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d)     Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
e)      Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
·           Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri.
·         Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
f)       Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
4.      Yang tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh pasal 21 adalah :
a)    Kantor perwakilan Negara asing
b)   Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c)    Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

5.      Wajib Pajak PPh 21
a)      Pegawai
b)      Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c)      Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan denga pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
·         Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdir dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaries, penilai, dan aktuaris.
·         Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintsng sinteron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
·         Olahragawan
·         Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
·         Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
·         Pemebri jasa dalam segala bidang termasuk teknik computer dan sisitem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan social serta pemebri jasa keapda suatu kepanitiaan.
·         Agen iklan
·         Pengawa atau pengelola proyek
·         Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
·         Petugas penjaja barang dagangan
·         Petugas dinas luar asuransi
·         Distributor perusahaan umtilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
d)     Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antar alain meliputi :
e)      Peserta perlombaan dalam sehala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
f)       Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.
g)      Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu.
h)      Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
i)        Peserta kegiatan lainnya.

6.      Tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
a)      Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tesebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik.
b)      Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan ewarga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

7.      Objek Pajak PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong adalah:
a)      Penghasilan yang diterima atasu diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b)      Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teatur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
c)      Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secra sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, damn pembayaran lain sejenis.
d)     Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e)      Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f)       Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan anma dan dalam bentuk apapun, dan ombalan sejenis dengan nama apapun.
g)      Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh :
·         Bukan Wajib Pajak
·         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau
·         Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

Berikut ini yang bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21:
a)      Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
b)      Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apng diberikan apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atau Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).
c)      Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
d)     Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia dan diterima oleh orang pribadi yag berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
e)      Beasiswa, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
·         penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh WNI dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan atau informal di dalam negeri maupun di luar negeri.
·         ketentuan beasiswa tersebut tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa.
·         Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengna daerah lokasi tempat belajar.

9.      Tarif Pajak dan Penerapannya untuk Wajib Pajak yang memiliki NPWP

a)      Penghitungan Pemotongan PPh Terhadap Penghasilan Pegawai Tetap
o   Dengan Gaji Bulanan
Contoh :
Sanusi pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT Madju dengan memperoleh gaji sebulan Rp 2.500.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000. Sanusi menikah tetapi belum mempunyai anak.
Penghitungannya sebagai berikut:
Gaji sebulan                                                          Rp 2.500.000
Pengurangan:
1)      Biaya jabatan:
5% x Rp 2.500.000     Rp 125.000
2)      Iuran pensiun              Rp 100.000
Jumlah pengurangan                                             (Rp   225.000)
Penghasilan netto sebulan                                     Rp 2.275.000

Penghasilan netto setahun (12xRp 2.275.000)     Rp 27.300.000

PTKP setahun
-untuk WP sendiri             Rp 15.840.000
-tambahan WP kawin        Rp 1.320.000
Jumlah PTKP                                                        (Rp 17.160.000)
Penghasilan Kena Pajak setahun                           Rp 10.140.000
PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp 10.140.000         Rp      507.000
PPh pasal 21 sebulan Rp 507.000 : 12                  Rp        42.250                    

o   Dengan gaji Mingguan dan Gaji Harian
Contoh:
Toni Wijaya pegawai pada perusahaan PT Samudra dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp 500.000 . Toni kawin dan mempunyai seorang anak. PT Samudra masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1% dan 0,3% dari gaji. PT Samudra membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,7% dari gaji dan Toni membayar iuran pensiun Rp 10.000 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari gaji.
Penghitungannya sebagai berikut :
Penghasilan sebulan (4x500.000)                                      Rp 2.000.000
Premi JKK (1%x2.000.000)                                              Rp      20.000
Premi JKM (0.3%x2.000.000)                                          Rp        6.000
Penghasilan bruto sebulan                                                 Rp 2.026.000
Pengurangan
1)      Biaya jabatan (5%x 2.026.000)           Rp 101.300
2)      Iuran pensiun                                      Rp   10.000
3)      Iuran JHT (2%x2.000.000)                 RP   40.000
Jumlah pengurangan                                                         (Rp   151.300)
Penghasilan netto sebulan                                                 Rp 1.874.700
Penghasilan netto setahun (12x1.874.700)                       Rp 22.496.400
PTKP
-untuk WP                                     Rp 15.840.000
-tambahan karena menikah           Rp   1.320.000
-tambahan seorang anak                Rp   1.320.000
Jumlah PTKP                                                                    (Rp 18.480.000)
Penghasilan Kena Pajak setahun                                       Rp 4.016.400
Pembulatan                                                                       Rp 4.016.000
PPh Pasal 21 setahun 5%x4.016.000                                Rp    243.050
PPh Pasal 21 sebulan (243.050 : 12)                                 Rp      20.254
PPh Pasal 21 sehari           (20.254 :26)                             Rp           779

b)     Penerima Pensiun Berkala yang Dibayarkan Secara Bulanan
Contoh :
Wijaya seorang pegawai yang sudah pensiun dengan dana pensiun sebulan Rp 3.000.000. Wijaya sudah menikah dan memiliki 2 orang anak
Perhitungannya sebagai berikut :
Pensiun sebulan                                                                 Rp 3.000.000
Pengurangan :
Biaya pensiun 5% x 3.000.000                                         (Rp  150.000)
Penghasilan neto sebulan                                                  Rp 2.850.000
Penghasilan netto setahun (12x2.850.000)                       Rp 34.200.000
PTKP
-untuk WP sendiri                         Rp 15.840.000
-tambahan karena menikah           Rp   1.320.000
-tambahan untuk 2 anak                Rp   2.640.000
Jumlah PTKP                                                                    (Rp 19.800.000)
Penghasilan Kena Pajak                                                    Rp 14.400.000

PPh Pasal 21 setahun 5% x 14.400.000                            Rp      720.000
PPh Pasal 21 sebulan 720.000 : 12                                   RP        60.000

c)      Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan secara Bulanan
Contoh :
Budi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Maret 2009, Budi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 120.000. Budi menikah tetapi belum memiliki anak .
Penghitungan PPh sebagai berikut :
Upah Maret 2009 (20 x 120.000)                                     Rp 2.400.000
Penghasilan neto setahun (12 x 2.400.000)                      Rp 28.800.000
PTKP
-untuk WP sendiri                         Rp 15.840.000
-tambahan karena menikah           Rp   1.320.000
Jumlah PTKP                                                                    (Rp 17.160.000)
Penghasilan Kena Pajak                                                    Rp 11.640.000
PPh Pasal 21 setahun 5% x 11.640.000                            Rp      582.000
PPh Pasal 21 sebulan (582.000:12)                                   Rp        48.500

·         Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarof lapisan pertama Pasal 17 UU PPh (5%) diterapkan atas :
a)      Jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp 150.000 atau
b)      Jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000, PPh Pasal 21 dihitnung dengan menerapkan tarof Pasal 17 UU PPh ataqs jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.

·         Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah kumulatif dari
a)      Penghasilan Kena Pajak sebesar jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperboleh bukan pegawai (selain tenaga ahli), yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan :
o   Yang bersangkutan telah mempunyai NPWP
o   Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21
o   Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
o   PPh Pasal 21 = (penghasilan bruto-PTKP) x tarif Pasal 17 UU PPh
o   Jika tidak memenuhi syarat maka PPh Pasal 21 = Penghasilan bruto x tariff Ps 17
b)      50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiridari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris
PPh Pasal 21 = (50% x Penghasilan bruto) x tarif pasal 17
c)      Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x tariff Ps 17
d)     Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai
PPh Pasal 21 = penghasilan bruto x 17
e)      Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
PPh pasal 21= penghasilan bruto x tariff pasal 17

10.  Tarif Pemotongan PPh Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Punya NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memilikiNPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tariff yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP. Artinya jumlah PPh yang harus dipotong sebesar 120 %dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP. Pemotongan ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengna nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
Dalam peraturan baru tersebut, ada penyesuaian tarif PPh untuk uang pesangon, uang pensiun, tabungan hari tua, dan jaminan hari tua dari perusahaan. Adapun tarif baru tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50  juta, tarifnya 0%;
b)      Atas penghasilan bruto diatas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta, tarifnya 5%;
c)      Atas penghasilan bruto diatas Rp. 100 juta sampai dengan Rp. 500 juta, tarifnya 15%.
d)     Atas penghasilan bruto diatas Rp. 500 juta, tarifnya 25%.
Sedangkan tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a)      atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50 juta, dikenakan tarif 0%;
b)      atas penghasilan bruto di atas Rp. 50 juta, dikenakan tarif 5%.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

I.                   Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:

  1. Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
  2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

II. Pemungut & Objek PPh Pasal 22

  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
  2. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
  3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD);
  4. Bank Indonesia (Bl), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
  5. Industri semen, industri rokok putih, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
  7. Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

III. Tarif PPh Pasal 22

Atas impor :
  1. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
  2. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
  3. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
  1. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak final.
  2. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
    • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
    • Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
    • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
  3. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
Jenis Bahan
Bakar
SPBU Swastanisani (% dari penjualan)
SPBU Pertamina (% dari penjualan)
Premium
0,3
0,25
Solar
0,3
0,25
Premix/ Super TT
0,3
0,25
Minyak Tanah

0,3
Gas LPG

0,3
Pelumas

0,3
Catatan: Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.

IV. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

  1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
  2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
  3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
  4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
  5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
  6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
  7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
  8. Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

V. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22

  1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
  2. Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
  3. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
  4. Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
  5. Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

VI.Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22

  1. PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importer dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
  2. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
    • lembar pertama untuk pembeli;
    • lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
    • lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
  3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  4. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
  5. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
    • lembar pertama untuk pembeli;
    • lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
    • lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23

1. Pemotong PPh Pasal 23:
  1. badan pemerintah;
  2. Wajib Pajak badan dalam negeri;
  3. penyelenggaraan kegiatan;
  4. bentuk usaha tetap (BUT);
  5. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
  6. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
  1. WP dalam negeri;
  2. BUT

Tarif dan Objek PPh Pasal 23

  1. 15 % dari jumlah bruto atas:
a)      dividen, bunga, dan royalti;
b)      hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
  1. 15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
  2. 5% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah:
a)      15 % x 10 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
b)      15 % x 30 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
  1. 15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa. Tarif, perkiraan penghasilan neto dan objek imbalan jasa adalah:
a)      15 % x 30 % dari jumlah bruto imbalan jasa teknik dan jasa manajemen dan jasa konsultan kecuali konsultansi kontruksi
b)      15% x 26 2/3% dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi;
c)      15% x 30% dari jumlah bruto jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntasi, jasa perancang, jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambang minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang di bidang penambangan migas, jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambang selain migas, jasa penunjang di bidang penerbang dan Bandar udara, jasa penebangan hutan, jasa pengelolaan limbah, jasa penyedia tenaga kerja, jasa perantara, jasa perantara, jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI, jasa kostudian/penyimpanan/ penitipan. Kecuali yang dilakukan KSEI, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
d)     15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa instalasi / pemasangan :
1.      Jasa instalasi/pemasangan mesin,
2.      jasa instalasi / pemasangan peralatan listrik / telepon/air/ gas/ AC/TV kabel
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi;
e)      15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan :
1.      Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin,listrik /telepon /air / gas / AC / TV kabel;
2.      Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan;
3.      Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan;
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaanya di bidnag konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi.
f)       15 % x 13 1/3 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/ telepon/air/gas/AC/TV kabel yang dilakukan Wajib Pajak pengusaha Konstruksi yang mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
g)      5 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.
h)      15 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
i)        5 % x 10 % dari jumlah bruto imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan /cleaning service.
j)        15 % x 10 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan Jasa katering

Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah Bruto tidak termasuk PPN.

Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23

  1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
  2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
  3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
    1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
    2. bagi perseroan terbatas, BUMN/D, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
  4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
  5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
  6. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
  7. Bunga simpanan anggota koperasi yang tidak melebihi jumlah Rp.240.000.00 setiap bulan.
Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
  1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
  2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
  3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Bukti Pemotong PPh Pasal 23

Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

Pajak Penghasilan Pasal 24

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar Negeri
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
  1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
  2. Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
  3. Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
  4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri (164/KMK.03/2002)
  • Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
  • Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
  • Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
  • Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
  • Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
  • Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
  • Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
  1. - Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
  2. - Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
  3. - Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
  • Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
  • Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
  • Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
  • Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
PPH PASAL 25
Cara Menghitung Besarnya PPh pasal 25
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh WP untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
n  Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
n  Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24
¨     Setelah dilakukan pengurangan kemudian dibagi 12 (duabelas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

Hal-hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25
a)      Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian
b)      Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
c)      SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan
d)     Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
e)      Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan
f)       Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak

Beberapa Masalah/Kasus untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal25

èAngsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu
èApabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak
Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Baru,Bank,BUMN,BUMD, dan WP Tertentu lainnya
Berdasarkan UU PPh pasal 25 ayat (7) perhitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, Bank, BUMN, BUMD dan WP tertentu lainnya ditetapkan oleh MenKeu.
a)      Sesuai dengan SeKep MenKeu No. 522/KMK/04/2000 dan diubah menjadi SeKep MenKeu no. 84/ KMK/03/2002 besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung sebesar jumlah pajak yang diperoleh dari penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (duabelas)
b)      Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu dibagi 12
c)      Angsuran PPh pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau finansial lease dengan hak opsi yang merupakan WP barumaka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah pajak yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan , dibagi 12
d)     Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi  Wajib Pajak Pengusaha Tertentu ditetapkan sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
e)      Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melali tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk kendaraan bermotor dan restoran.
f)       Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi BUMN/D dengan nama dalam bentuk apapun kecuali Wajib Pajak Bank dan Wajib Pajak Sewa Guna Usaha dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 25 dan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri pada tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (duabelas)
g)      Apabila RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya
h)      Apabila ada sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang terutang atas PKP yang dihitung dari penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut

Fiskal Luar Negeri
Pengertian
Yang dimaksud dengan Fiskal Luar Negeri adalah Pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri
Masa Berlaku
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perubahan tarif Fiskal Luar Negeri mulai berlaku pada tanggal 26 Januari 1998.
Besarnya Fiskal Luar Negeri adalah sbb:
* Rp. 1.000.000,- bagi setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara
*  Rp. 500.000,- bari setiap orang untuk setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut
*  Rp 200.000,00 (lima puluh ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan melalui darat.
Perlakuan Pembayaran Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak ke Luar Negeri sebagai Kredit Pajak
n  Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri , pembayaran Pajak Penghasilan yang dibayarkan karena bertolak ke Luar Negeri, merupakan pembayaran pajak penghasilan pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan
n  Apabila pembayaran pajak Penghasialn yang karena bertolak ke luar negeri tersebut ditanggung pemberi kerja, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 25 yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Pengasilan yang terutang dalam SPT PPh pemberi kerja.
Orang Pribadi yang bertolak ke Luar Negeri yang Tidak Dikenakan Kewajiban membayar Pajak Penghasilan
1)      Anggota Korp Diplomatik, Pegawai Negara Asing, Staff dari Badan-badan PBB, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah RI, dengan syarat:
¨  Bukan WNI
¨  Tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia selain jabatan resmi
2)      Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan WNI dari mereka yang disebutkan diatas
3)      Pejabat negara, Anggota TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan
4)      Anggota keluarga dari mereka yang disebutkan pada poin 3 dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri
5)      Anggota TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan
6)      Anggota misi kesenian, misi olah raga dan misi keagamaan yang mewakili Pemerinta RI ke Luar Negeri dengan persetujuan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Agama. Aggota misi kesenian, misi olah raga dan misi keagamaan yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak Penghasilan pada waktu bertolak ke luar negeri adalah:
¨  Misi kesenian atau kebudayaan yang bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari menteri Kebudayaan dan Pariwisata
¨  Misi olah raga yang bertolak ke luar negeri tersebut telah mendapat persetujuan dari Mendiknas
¨  Misi keagamaan yang bertolak ke luar negeri tersebut telah  mendapat persetujuan dari Mendiknas
7)      Para pekerja WNI yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
8)      Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan menggunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara RI
9)      Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di P. Batam yang mempunyai KTP yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, dengan syarat telah dipotong pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewajiban pajak Penghasilan pada KPP Batam
10)  Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan

WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Pembebasan ini hanya diberikan untuk 4 kali dalam masa satu tahun takwin
1)      Tenaga kerja WNA pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun, dengan syarat mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
2)      Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bermaksud menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan
3)      Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan Sekolah atau Perguruan     Tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
4)      Tenaga kerja WNA pendatang yang bekerja di P. Batam, P. Bintan dan P. Karimun, dengan syarat mereka telah dipotong pajak penghasilan oleh pemberi kerja
1)      Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bermaksud menetap di Indonesia serta berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dengan syarat telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasila
2)      Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan dibawah koordinasi DEPAG dan misi kemanusian dibawah koordinasi DEPSOS
3)      Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerinta Indonesia untuk meninggalkan wilayah Indonesia
4)      Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang beroperasi di jalur imternasional atau melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan
5)      Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk satu orang pendamping dengan persetujuan MENKES
1)      Orang pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan luar negeri dalam daerah kerja sama kecuali Bali, yang ditetapkan oleh MENKEU
2)      Anak-anak yang berangkat ke luar negeri dengan syarat umurnya tidak lebih dari 12 tahun
3)      Orang pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang ditetapkan oleh MENKEU
4)      Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi warga Negara bekas propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi PMI
5)      Anggota misi dagang atau pameran yang mewakili Pemerintan Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan


PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Pemotong PPh Pasal 26

  • Badan Pemerintah;
  • Subjek Pajak dalam negeri;
  • Penyelenggara Kegiatan;
  • BUT;
  • Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.

Tarif dan Objek PPh Pasal 26

  1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
    1. dividen;
    2. bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
    3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
    4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
    5. hadiah dan penghargaan
    6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
  2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
    1. penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
    2. premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
  3. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
    kembali di Indonesia.
  4. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

Saat Terutang, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26

  1. PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih
    dahulu.
  2. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
    • lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
    • lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
    • lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
  3. PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
  4. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan
  5. ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
    Contoh :
Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.

Pengecualian

  1. BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan
    kembali di Indonesia dengan syarat:
    1. dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
    2. dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan
      tersebut;
    3. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan
      tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
  2. Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.